Seperti kita tahu bahwa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah mengalami krisis keuangan yang cukup hebat. Hal ini dikarenakan maskapai penerbangan nasional ini telah terjerat hutang hingga 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp 70 triliun. Tak cukup itu, karena pandemi Covid-19, Garuda Indonesia pun mendapati kerugian yang sangat besar. Lalu mengapa Garuda Indonesia yang merupakan bagian dari BUMN ini bisa tekor hingga mengalami krisis?
Lessor Menjadi Penyebab
Ketika hal ini ditanyakan kepada Menteri BUMN, Erick Thohir menyatakan bahwa penyebab utama Garuda Indonesia mengalami krisis adalah kesepakatan dengan lessor. Lessor sendiri adalah perusahaan yang menyediakan jasa leasing atau menyewakan barang dalam bentuk guna usaha. Intinya lessor ini merupakan pihak yang menyewakan atau menyediakan jasa leasing, sementara itu pihak penyewanya disebut sebagai lessee. Selain barang sewa guna fisik, lessor juga bisa menyewakan hal atau objek lain seperti merek dagang atau kekayaan intelektual lainnya.
Dikutip dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease). Dari sini bisa dikatakan bahwa leasing adalah setiap kegiatan yang menghadirkan penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan atau perorangan untuk jangka waktu tertentu.
Lessor Nakal
Lebih lanjut Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa ada indikasi lessor nakal yang memberikan tarif sewa lebih mahal pada Garuda Indonesia dibandingkan tarif pasaran. Hal ini bisa saja terjadi karena ada kongkalikong antara perusahaan penyewa dengan lessor. Dari kejadian yang ada Kementerian BUMN mengaku sedang melakukan negosiasi keras terhadap para lessor atau pemberi sewa ke Garuda Indonesia yang sudah masuk dan bekerja sama dalam kasus yang dibuktikan koruptif.
Di Garuda Indonesia sendiri ada 36 lessor yang memang harus dipetakan ulang, mana saja lessor yang sudah masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif. Namun Erick juga menyatakan bahwa ada juga lessor yang tidak ikut atau terlibat kasus yang terbukti koruptif.
“Ini yang pasti kita bakal standstill, bahkan negosiasi keras dengan mereka. Tetapi pada hari ini kemahalan mengingat kondisi sekarang, itu yang kita juga harus lakukan negosiasi ulang. Beban terberat saya rasa itu,” ujar Erick Thohir.
Utang yang Terus Bertambah Besar
Sementara hutang Garuda Indonesia yang tercatat adalah sebesar 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp 70 triliun. Angka ini sendiri meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok. Sementara itu di sisi lain akibat pandemi Covid-19, Garuda Indonesia mencatatkan arus kas negatif dan utang minus Rp 41 triliun. Karena perusahaan yang tidak bisa menutupi pengeluaran operasional akibat pandemi hutang pun semakin bertambah.
Berdasarkan pendapatan Mei 2021, tercatat Garuda Indonesia hanya memperoleh sekitar 56 juta dolar AS. Pada saat yang bersamaan Garuda Indonesia masih harus membayar sewa pesawat 56 juta dolar AS, perawatan pesawat 20 juta dolar AS, bahan bakar avtur 20 juta dolar AS, dan gaji pegawai 20 juta dolar AS. Sementara itu berdasarkan data laporan keuangan terakhir yang dirilis Garuda Indonesia pada kuartal III 2020, BUMN penerbangan itu memiliki utang sebesar Rp 98,79 triliun yang terdiri dari utang jangka pendek Rp 32,51 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp 66,28 triliun.