Perdebatan vaksin kembali terjadi beberapa waktu lalu ketika muncul vaksin berbayar yang dijadikan opsi oleh pemerintah. Dari sini pun muncul berbagai kritik dari lapisan masyarakat untuk membatalkan vaksin berbayar tersebut. Banyak pihak yang menyayangkan keputusan pemerintah menghadirkan vaksin berbayar. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa vaksinasi berbayar tidak mencerminkan sense of crisis dari pemerintah.
Rancangan dan Rencana
Pemerintah sendiri sudah memiliki rancangan untuk vaksin berbayar yakni dengan menunjuk PT Kimia Farma sebagai pelaksananya. Rencananya pada tahap awal, layanan vaksinasi individu ini akan dihadirkan di 8 klinik Kimia Farma yang berada di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, dan Bali. Sementara itu untuk total kapasitas vaksinasi di 8 klinik itu yakni sebanyak 1.700 peserta per hari. Sedangkan vaksin yang akan digunakan pemerintah dalam vaksinasi individu ini adalah Sinopharm.
“Setelah menjalankan Vaksinasi Gotong Royong perusahaan, Kimia Farma memberikan pilihan baru bagi masyarakat yang hendak melakukan vaksinasi sendiri. Kami siap memberikan layanan vaksinasi Individu melalui klinik-klinik kami di seluruh wilayah Indonesia,” kata Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo.
Penundaaan Vaksinasi Berbayar
Namun setelah pemerintah mengumumkan vaksinasi berbayar ini pada 12 Juli 2021 muncul berbagai kritik baik itu dari masyarakat, pengamat, lembaga konsumen, hingga DPR RI. Dari sini kemudian Kimia Farma menyatakan memutuskan untuk menunda pelaksanaan vaksinasi individu.
“Kami mohon maaf karena jadwal vaksinasi gotong royong individu yang semula dimulai hari Senin, 12 Juli 2021 akan kami tunda hingga pemberitahuan selanjutnya,” ucap Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro.
Kritikan Terus Belanjut
Meski sudah ditunda, kritikan pada vaksinasi ini masih terus berlanjut. Kali ini kritikan datang dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Mewakili WHO yakni Dr Ann Lindstrand selaku Kepala Unit Program Imunisasi WHO menyebut setiap warga negara harus diberikan akses yang setara untuk vaksin Covid-19. Terlebih melihat kondisi Indonesia yang diserang varian Delta yang terus meningkat kasusnya.
“Penting bahwa setiap warga negara memiliki kemungkinan yang sama untuk mendapatkan akses, dan pembayaran apapun dapat menimbulkan masalah etika dan akses (vaksin tersebut),” kata Ann.
Alih-alih memungut pembayaran, Ann mengatakan bahwa Indonesia bisa mengakses lebih banyak vaksin gratis dari kerja sama internasional seperti Covax Facility yang merupakan program kerja sama di bawah WHO. Jadi dari Covax Facility ini menurut Ann maka Indonesia bisa mengakses pendanaan dari berbagai lembaga internasional terkait biaya pengiriman dan biaya lain-lain yang membebani, seperti biaya transportasi, logistik, hingga tempat penyimpanan vaksin.
“Jadi dananya jangan terlalu banyak. Yang penting di sini adalah bahwa setiap orang memiliki hak dan harus memiliki hak akses ke vaksin ini terlepas dari masalah keuangan,” tukas Ann.
Dibatalkan
Dari banyaknya kritik yang bermunculan maka pemerintah pun kemudian memutuskan membatalkan vaksinasi berbayar atau vaksinasi gotong royong individu. Sekretaris Kabinet Pramono Anung sendiri menyatakan bahwa keputusan pembatalan tersebut merupakan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Setelah mendapatkan masukan dan juga respons dari masyarakat, Presiden telah memberikan arahan dengan tegas untuk vaksin berbayar yang rencananya disalurkan melalui Kimia Farma semuanya dibatalkan dan dicabut,” jelas Pramono.
Dari keputusan ini maka pemerintah memastikan bahwa vaksinasi akan tetap digratiskan bagi seluruh masyarakat.
“Sehingga, dengan demikian mekanisme untuk seluruh vaksin, baik itu yang gotong royong maupun yang sekarang mekanisme sudah berjalan digratiskan oleh pemerintah,” tutup Pramono.