Pandemi Covid-19 yang menjadikan perekonomian global dan Indonesia terus merosot membuat banyak pebisnis yang merasakan dampaknya. Tidak hanya dampak kerugian, tapi tidak sedikit usaha mikro yang harus mengalami gulung tikar karena dampak wabah virus corona tersebut. Menurut catatan Akumindo (Asosiasi UMKM Indonesia) sendiri karena dampak tersebut ada sekitar 30an juta pelaku UMKM yang harus mengakhiri usahanya. Bagi Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) M. Ikhsan Ingratubun, apa yang terjadi saat ini adalah tidak adanya iklim usaha yang sehat.
“Pandemi ini memang ada sekitar 30 juta UMKM ini rontok. Karena yang dibutuhkan oleh UMKM adalah iklim usaha atau kebijakan usaha yang sehat manakala terjadi yang namanya lockdown atau PSBB atau apapun namanya itu merontokkan yang namanya UMKM dan itu diakui juga oleh Menteri Sri Mulyani,” ujar M. Ikhsan.
Usia yang Enggan Mau Mempelajari Teknologi
Dari jumlah UMKM yang gulung tikar ini menurut M. Ikhsan berasal dari para pelaku usaha dengan rata-rata usia lebih dari 40 tahun. Nah di usia lebih dari 40 tahun ini mereka kemudian enggan mempelajari penjualan atau marketing melalui teknologi. Padahal menurut M. Ikhsan di masa pandemi seperti sekarang pengusaha membutuhkan peralihan pemasaran ke dunia digital.
“Sedangkan yang sudah 40 tahun ke atas, kalau dengan penjualan melalui digital itu memang agak ribet dan ogah. Apalagi kalau enggak mau belajar, ya jadi itu menjadi kendala memang. Kalau yang 30 tahun ke bawah itu semangat untuk melakukan penjualan lewat online,” jelas M. Ikhsan.
Permodalan dan Tidak Punya Kemahiran dalam Meningkatkan SDM
Hal lain yang menyebabkan UMKM mengalami kemunduran hingga kegagalan di masa pandemi adalah masalah klasik permodalan.
“Alasan klasik yaitu permodalan, apabila mendapatkan order untuk yang besar ya harus butuh modal yang cepat. Padahal, tidak semua UMKM di Indonesia itu berhasil setelah meminjam. Pada saat dia sudah mulai bangkit dan ini harusnya lebih cepat untuk diberikan akses permodalan,” kata M. Ikhsan.
Selain itu ada juga penyebab yang berasal dari tak adanya kemahiran untuk meningkatkan sumber daya manusianya dari sisi penjualan lewat e-commerce atau aplikasi online.
“Itu pasti tidak akan pernah berhasil,” ucapnya.
Akses Pemasaran
Terakhir, hal yang membuat banyak usaha skala mikro mengalami kegagalan di masa pandemi ini adalah kurangnya akses pemasaran juga diperlukan dalam mendorong peningkatan omset UMKM. Menurut M. Ikhsan, slogan bangga menggunakan produk UMKM ini kurang berhasil karena tidak disertai dengan aksi membeli dari konsumen.
“Salah satu contohnya Ini aku bangga menggunakan produk UMKM. Tapi, kalau kami dari asosiasi, jangan cuma aku bangga aku bangga. Tapi harus beli produk UMKM,” katanya.
Mengenai akses pemasaran ini, M. Ikhsan berharap pada pemerintah untuk lebih membantu UMKM dalam mempromosikan produk-produknya. Contoh yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu pemasaran UMKM adalah menggunakan batik dan pernak-pernik produk UMKM sesering mungkin.
Mau Tak Mau Harus Beralih ke Digital
Lebih lanjut M. Ikhsan menyatakan bahwa pelaku UMKM di masa pandemi ini mau tak mau harus beralih ke marketing digital.
“Jadi, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau teman-teman UMKM harus masuk ke dunia digital atau dunia online,” ujarnya.
Beralih ke pemasaran digital ini menurut M. Ikhsan bukan berarti lantas meninggalkan begitu saja penjualan offline. Tapi alangkah lebih baiknya, pelaku UMKM ini menjalankan dua pemasaran sekaligus yakni offline dan online.
“Karena tetap manusia Indonesia ini atau kita-kita ini butuh yang namanya bersosial atau ketemu. Walaupun punya (toko) kecil tetapi juga ada tersedia yang namanya online-nya,” kata M. Ikhsan.