Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi pengawas dalam bidang finansial di Indonesia mencatat adanya penurunan jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer lending (fintech P2P) atau fintech lending yang terdaftar dan berizin.
Data OJK sendiri mencatat bahwa pada Desember 2020, jumlah fintech lending 160 penyelenggara, namun Per September 2021, fintech lending tersebut hanya tercatat 107 penyelenggara. Kemudian di bulan Oktober 2021 menurun lagi jadi 104 dengan akumulasi penyaluran pinjaman di akhir Oktober 2021 mencapai Rp 272,43 triliun dan outstanding pinjaman Rp 27,4 triliun.
Menariknya dari 104 penyelenggara fintech lending berizin dan terdaftar OJK, tersisa hanya tiga penyelenggara fintech lending dengan status masih terdaftar, yakni PT Pintar Inovasi Digital, PT Mapan Global Reksa dan PT Kas Wagon Indonesia.
Penyebab Fintech Lending “Berguguran”
Terus menurunnya jumlah penyelenggara fintech lending ini tentunya perlu perhatian dan perlu dipertanyakan. Menurut Bambang W Budiawan selaku Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK menyatakan bahwa ada beberapa penyebab yang membuat banyak fintech lending ini “berguguran”.
Salah satu penyebabnya menurut Bambang terjadi karena penyelenggara fintech lending tidak memenuhi persyaratan modal minimum untuk melanjutkan kegiatan operasional dan meningkatkan kinerja. Dari sini kemudian perusahaan fintech memilih untuk mengembalikan status terdaftarnya.
Perlu diketahui bahwa dalam POJK No. 77/2016 yang berlaku sekarang ada persyaratan modal yang harus disetor perusahaan fintech minimal sebesar Rp 2,5 miliar. Menurut Bambang besaran modal sebagai persyaratan itu dinilainya terlalu kecil. Maka OJK di tahun mendatang berencana akan menambah persyaratan besaran modal tersebut secara bertahap hingga mencapai minimal Rp 12,5 miliar.
Prospek Fintech Lending Masih Besar
Meski terjadi penurunan jumlah penyelenggara fintech, namun menurut Bambang ke depan diyakini peminat dari investor baru yang ingin membangun dan memperoleh izin usaha kegiatan Peer to Peer Lending akan tetap tinggi. Masih tingginya minat investor ini menurut Bambang dikarenakan market borrower di Indonesia masih terbuka luas, terutama sektor produktif (mikro dan kecil) dan sektor konsumtif (multiguna).
Lebih lanjut Bambang menilai belum adanya tren aksi merger atau akuisisi dari pemain fintech lending yang memiliki pangsa pasar yang besar membuat peluang masuknya investor baru jadi semakin lebih besar meski ada perubahan persyaratan modal yang telah diberlakukan OJK.
“Pekerjaan Rumah” Fintech Lending
Lebih dari itu Bambang menyatakan bahwa demi menjaga likuiditas perusahaan, para pemain fintech memang harus berbenah. Selain harus melakukan perbaikan kualitas tata kelola, para pemain fintech dikatakan Bambang juga harus melakukan mitigasi risiko (credit scoring yang andal), ekosistem P2PL, perlindungan konsumen, dan infrastruktur IT. Jika semua hal yang disebutkan dilakukan para pemain fintech, menurut Bambang semua hambatan pendanaan akan bisa teratasi.
“Sehingga kinerjanya bagus secara berkelanjutan. Apabila kinerja dan reputasi membaik, diyakini hambatan pendanaan otomatis akan teratasi,” tutup Bambang.
Demikianlah informasi mengenai penyebab terjadinya penurunan jumlah penyelenggara fintech di Indonesia dari periode Desember 2020 hingga Oktober 2021. Informasi dan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang valid ini tentu bisa menjadi gambaran betapa pemerintah sangat serius untuk memperbaiki kualitas layanan dari dunia financial technology ini. Dari sini maka kamu yang juga akan menggunakan fintech juga tak perlu ragu lagi ketika memilih fintech berlisensi OJK. Jangan lupa untuk tetap berhati-hati ketika memilih fintech. Jangan sampai kamu memilih fintech ilegal yang tidak berizin dan tidak terdaftar di OJK.