Di era digital dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat seperti sekarang, memang membuat para pebisnis harus bisa menyesuaikan diri. Proses digitalisasi bisnis sendiri pada akhirnya menjadi sesuatu yang tak terelakkan untuk para entrepreneur agar dapat tetap eksis. Apalagi di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, maka banyaknya konsumen yang beralih ke belanja online, memaksa para pengusaha untuk mendigitalisasi bisnisnya. Namun untuk masuk ke proses digitalisasi ini ternyata ada beberapa faktor sukses yang mempengaruhinya. Dari sinilah maka ada kasus bisnis yang gagal menjalankan proses digitaliasasi.
Menurut Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki, untuk masuk ke platform digital tidak hanya bisa mengandalkan akses internet untuk bisa sukses.
“Ada banyak faktor keberhasilan atau kegagalan UMKM masuk ke platform digital. Saya kira bukan semata terhubung market online,” ujar Teten.’
Persaingan di Platform Digital
Dalam acara Webinar yang diselenggarakan pada hari Jumat, 26 Juni 2020 di Jakarta, Teten menyatakan bahwa ketika pebisnis UMKM masuk ke platform digital, mereka otomatis akan langsung berhadapan dan bersaing dengan pelaku bisnis lain yang produknya bisa jadi lebih berkualitas. Tidak ketinggalan juga para pebisnis besar dengan brand ternama pun mau tak mau harus mereka hadapi dalam persaingannya di platform digital.
“Apalagi yang punya brand image bagus, sama aja kalau di offline, yang gede juga masuk ke market online,” ucap Teten.
Kapasitas Produksi
Dalam pemasarannya di platform digital ini Teten juga menjelaskan bahwa tantangan dan rintangan UMKM bisa terjadi pada kapasitas produksinya. Seperti kita ketahui bersama untuk berbisnis di platform digital dibutuhkan stok atau persediaan barang dalam jumlah yang banyak. Ini dikarenakan platform digital akan mengantarkan pebisnis pada pasar dengan skala nasional yang lebih besar. Nah untuk menaikkan kapasitas produksinya tersebut tentu para pelaku UMKM harus memiliki modal yang besar. Dari sinilah kemudian muncul permasalahan yang harus dihadapi para pengusaha UMKM.
“Nah mereka enggak punya stok, makanya mereka tidak bisa penuhi permintaan pasar,” kata Teten.
Dalam banyak fakta yang terjadi di lapangan, para pelaku UMKM ini biasanya masih mengerjakan produksinya secara mandiri. Tidak hanya itu pemasaran dan penjualannya pun biasanya juga dilakukan sendiri. Dari sinilah kemudian didapatkan data dari catatan beberapa platform digital yang menunjukkan hanya 4-10 persen pelaku UMKM yang dapat bertahan di platform digital.
“Keberhasilannya dalam catatan e-commerce 4-10 persen yang bisa bertahan,” ujar Teten.
UMKM Butuh Pendampingan
Dari beberapa hambatan yang dihadapi para pelaku UMKM dalam platform digital inilah maka Teten menyatakan bahwa perlu adanya pendampingan dan edukasi untuk pelaku UMKM. Pendampingan ini sendiri menurut Teten harus dilakukan oleh semua pihak. Sebab bila hanya mengandalkan pemerintah saja maka akan sangat berat untuk melakukannya.
Untungnya dalam perkembangan dunia online ini muncul beberapa reseller yang bisa membantu para pebisnis UMKM. Para reseller ini memang kebanyakan merupakan mereka yang berasal dari kalangan kaum muda yang tentunya lebih melek teknologi. Dari sinilah maka menurut Teten para pelaku UMKM harus bisa memanfaatkan keberadaan para reseller ini agar bisnisnya di ranah online dapat berjalan baik.
“Mereka bisa jadi reseller dan mereka tahu bagaimana caranya cari market,” kata Teten.
Lebih lanjut Teten menilai bahwa tren UMKM di Indonesia terlampau banyak sehingga pemerintah kemudian berpikir menjalankan konsolidasi produk-produk kecil untuk menjadi brand dan bisa masuk pasar yang besar.
“Kita berpikir untuk mengkonsolidasi produk kecil untuk jadi market yang besar,”ucap Teten.