Saat pandemi berlangsung, masyarakat memang dianjurkan untuk banyak berada di rumah. Dibeberapa daerah yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) bahkan muncul aturan yang mengikat terkait pembatasan kegiatan publik. Dari anjuran dan aturan ini kemudian banyak aktivitas baru yang dilakukan warga untuk menghilangkat rasa penat dan jenuh di rumah. Salah satu kegiatan yang banyak dilakukan masyarakat di rumah saat pandemi yakni berkebun dan mendekorasi rumah. Nah dari kegiatan ini kemudian muncul tanaman baru bernama Monstera atau Janda Bolong yang menjadi tren hingga harganya meningkat tajam.
Harga yang Melejit Setelah Tidak Dicari Sama Sekali
Melejitnya harga tanaman Janda Bolong atau Monstera ini bisa kita lihat di beberapa marketplace seperti Shopee. Di platform ecommerce tersebut, tanaman dengan ciri daun yang berlubang-lubang dijual mulai puluhan ribu untuk bonggolnya saja hingga jutaan rupiah untuk Janda Bolong yang sudah berdaun. Melonjaknya harga Monstera ini tentu mengejutkan, pasalnya sebelumnya jenis tanaman ini tidak begitu diminati publik. Saat itu tanaman yang harganya melejit karena banyak dicari masyarakat adalah anturium, aglaunema, dan sebagainya. Tapi ternyata sekarang tanaman tersebut harganya juga mulai menurun.
Fenomena Gelembung Ekonomi atau Bubble Economy
Menurut Bhima Yudhistira yang merupakan ekonom dari Institute Development of Economics and Financial (Indef), menyatakan bahwa fenomena melejitnya harga Monstera ini disebut gelembung ekonomi atau bubble economy.
“Teorinya adalah gelembung ekonomi (bubble economy) di mana harga aset menyimpang jauh dari nilai intrisiknya,” jelas Bhima.
Sebenarnya fenomena gelembung ekonomi pada tanaman ini bukan pertama kali terjadi saat ini. Namun pada tahun 1637 fenomena ini pernah juga terjadi di Eropa ketika bunga tulip dihargai 3.000-4.200 Gulden.
“Kemudian Charles Mackay, menulis buku terkenal Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds, bahwa harga tulip bisa melambung tinggi karena pasar irasional,” sebut Bhima.
Gejala Irasionalitas
Nah yang berlangsung sekarang di Indonesia adalah munculnya gejala atau pasar irasional pada tanaman Monstera tersebut. Di Indonesia sendiri gejala irasional ini seringkali berulang muncul seperti kala boomingnya ikan louhan, batu akik dan juga daun anthurium.
“Misalnya pada saat anturium dihargai setara mobil Innova pada saat itu, ternyata ada permainan antar pedagang tanaman hias atau kartel yang menggoreng harga sehingga bisa ratusan juta rupiah,” kata Bhima.
Permainan Pasar
Adanya permainan pasar untuk menaikkan harga produk tertentu ini memang bisa saja terjadi. Salah satu cara dari para pedagang untuk bisa melambungkan harga yaitu dengan menciptakan rumor-rumor tertentu.
“Yang dilakukan adalah proses pembentukan harga di antara sesama pedagang, kemudian diciptakan rumor atau isu agar masyarakat makin tertarik beli. Ada forum-forum kolektor juga, diciptakan imajinasi bahwa yang warna tertentu, bentuk tertentu punya harga lebih,” ucap Bhima.
Terbentuknya harga baru yang lebih tinggi ini bisa diamati dari banderol Monstera jenis Variegata. Monstera Variegata yang punya campuran warna putih dan hijau dianggap tanaman langka. Dari sinilah muncul pembenaran hingga membuat jenis Monstera ini harganya melejit tajam dibanding jenis Monstera lain yang umumnya berwarna hijau.
Tapi menurut Bhima perlu diselidiki siapa yang berperan dibalik permainan pasar tersebut. Lebih lanjut Bhima menyatakan bahwa spekulan pasar selalu menciptakan produk untuk dipermainkan.
“Iya memang ada perubahan perilaku juga selama pandemi, masyarakat banyak WFH, sehingga perhatian terhadap interior rumah, termasuk tanaman indoor naik. Jadi ada tren ini, tapi juga digoreng oleh spekulan,” terang Bhima.