Pajak merupakan suatu yang harus dibayarkan setiap warga negara kepada negara sebagai timbal balik atas apa yang sudah mereka miliki. Tujuan ditetapkannya pajak adalah untuk memperbaiki pembangunan dalam berbagai sector di suatu negara tertentu, tak terecuali di Indonesia
Sejauh ini ada beberapa jenis pajak yang harus dibayar oleh seseorang warga negara, Ada pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, hingga pajak penghasilan (Pph). Tentu, tidak semua warga negara membayar semua jenis pajak tersebut. pembayaran masing-masing jenis pajak diwajibkan bagi mereka yang memang memenuhi kualifikasi. Sejauh ini, pajak bumi dan bangunan (BPHTB) serta pajak kendaraan menyumbang pemasukan yang paling besar dibanding jenis pajak lainnya.
Nah, kali ini kita akan membahas sedikit mengenai Pph atau pajak penghasilan. Pph merupakan salah satu pajak yang dikenakan kepada orang pribadi, badan, atau lembaga atas penghasilan yang didapat dalam jangka waktu satu tahun. Penghasilan yang dimaksud disini merupakan setiap tambahan penghasilan untuk memperbaiki kemampuan ekonomi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Penghasilan disini bisa berupa usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lainnya. Umumnya pajak penghasilan terjadi karena adanya transaksi dua pihak, yakni pihak penerima dan pihak pemberi atau penjual jasa (Pph pasal 23). Dari sini, pihak pemberi atau penjual jasa akan melaporkan Pph penerima penghasilan kepada kantor pajak.
Berbeda dengan jenis pajak bumi dan bangunan, atau pajak kendaraan yang nilai pembayarannya telah ditetapkan berdasarkan harta yang dimiliki setiap tahunnya, maka pajak penghasilan juga memiliki tata cara penyetoran dan pelaporannya. Berikut beberapa hal berkaitan dengan penyetoran dan pembayaran pajak penghasilan.
Tatacara Penyetoran PPh Pasal 23
Sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 terdapat perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) pada bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan tanggal merah atau hari libur nasional, misal sabtu atau minggu, maka pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional juga termasuk hari yang diliburkan oleh Pemerintah untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Tentunya, Pembayaran atau penyetoran pajak harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP merupakan bukti pembayaran pajak yang sebelumnya akan disahkan dan divalidasi oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang. Jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), maka SPP dianggap telah sah sebagai bukti pembayaran. Anda bisa melakukan penyetoran Pph di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.
Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23
Setelah terjadi pemotongan PPh (berdasarkan Pasal 23), maka pemotong Pph wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi, lembaga, atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini nantinya akan berfungsi sebagai bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya.
Jika masa pajak telah berakhir, pemotong PPh wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyerahkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus dilaporkan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Apabila batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur, tanggal merah, atau tanggal libur nasional, termasuk hari Sabtu maka pelaporan bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya.